Elang Jawa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Elang Jawa atau dalam nama ilmiahnya
Spizaetus bartelsi adalah salah satu
spesies elang berukuran sedang yang
endemik di Pulau
Jawa. Satwa ini dianggap identik dengan lambang negara Republik Indonesia, yaitu
Garuda. Dan sejak 1992, burung ini ditetapkan sebagai maskot satwa langka Indonesia
Identifikasi
Elang yang bertubuh sedang sampai besar, langsing, dengan panjang tubuh antara 60-70
cm (dari ujung paruh hingga ujung ekor).
Kepala berwarna coklat kemerahan (kadru), dengan jambul yang tinggi menonjol (2-4 bulu, panjang hingga 12 cm) dan tengkuk yang coklat kekuningan (kadang nampak keemasan bila terkena sinar matahari). Jambul hitam dengan ujung putih; mahkota dan kumis berwarna hitam, sedangkan punggung dan sayap coklat gelap. Kerongkongan keputihan dengan garis (sebetulnya garis-garis) hitam membujur di tengahnya. Ke bawah, ke arah dada, coret-coret hitam menyebar di atas warna kuning kecoklatan pucat, yang pada akhirnya di sebelah bawah lagi berubah menjadi pola garis (coret-coret) rapat melintang merah sawomatang sampai kecoklatan di atas warna pucat keputihan bulu-bulu perut dan kaki. Bulu pada kaki menutup tungkai hingga dekat ke pangkal jari. Ekor kecoklatan dengan empat garis gelap dan lebar melintang yang nampak jelas di sisi bawah, ujung ekor bergaris putih tipis. Betina berwarna serupa, sedikit lebih besar.
Iris mata kuning atau kecoklatan; paruh kehitaman; sera (daging di pangkal paruh) kekuningan; kaki (jari) kekuningan. Burung muda dengan kepala, leher dan sisi bawah tubuh berwarna coklat
kayu manis terang, tanpa coretan atau garis-garis.
[2]
Ketika terbang, elang Jawa serupa dengan
elang brontok (
Spizaetus cirrhatus) bentuk terang, namun cenderung nampak lebih kecoklatan, dengan perut terlihat lebih gelap, serta berukuran sedikit lebih kecil.
Bunyi nyaring tinggi, berulang-ulang,
klii-iiw atau
ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga tiga suku kata. Atau bunyi bernada tinggi dan cepat
kli-kli-kli-kli-kli. Sedikit banyak, suaranya ini mirip dengan suara elang brontok meski perbedaannya cukup jelas dalam nadanya.
[3]
Penyebaran, ekologi dan konservasi
Sebaran elang ini terbatas di Pulau Jawa, dari ujung barat (
Taman Nasional Ujung Kulon) hingga ujung timur di
Semenanjung Blambangan Purwo. Namun demikian penyebarannya kini terbatas di wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan. Sebagian besar ditemukan di separuh belahan selatan Pulau Jawa. Agaknya burung ini hidup berspesialisasi pada wilayah berlereng.
[4]
Elang Jawa menyukai ekosistem hutan hujan tropika yang selalu hijau, di
dataran rendah maupun pada tempat-tempat yang lebih tinggi. Mulai dari wilayah dekat pantai seperti di Ujung Kulon dan
Meru Betiri, sampai ke hutan-hutan pegunungan bawah dan atas hingga ketinggian 2.200 m dan kadang-kadang 3.000 m
dpl.
Pada umumnya tempat tinggal elang jawa sukar untuk dicapai, meski tidak selalu jauh dari lokasi aktivitas manusia. Agaknya burung ini sangat tergantung pada keberadaan
hutan primer sebagai tempat hidupnya. Walaupun ditemukan elang yang menggunakan
hutan sekunder sebagai tempat berburu dan bersarang, akan tetapi letaknya berdekatan dengan hutan primer yang luas.
Burung pemangsa ini berburu dari tempat bertenggernya di pohon-pohon tinggi dalam hutan. Dengan sigap dan tangkas menyergap aneka mangsanya yang berada di dahan pohon maupun yang di atas tanah, seperti pelbagai jenis
reptil, burung-burung sejenis
walik,
punai, dan bahkan
ayam kampung. Juga
mamalia berukuran kecil sampai sedang seperti
tupai dan
bajing,
kalong,
musang, sampai dengan anak
monyet.
Masa bertelur tercatat mulai bulan Januari hingga Juni. Sarang berupa tumpukan ranting-ranting berdaun yang disusun tinggi, dibuat di cabang pohon setinggi 20-30 di atas tanah. Telur berjumlah satu butir, yang dierami selama kurang-lebih 47 hari.
Pohon sarang merupakan jenis-jenis pohon hutan yang tinggi, seperti
rasamala (
Altingia excelsa),
pasang (
Lithocarpus dan
Quercus),
tusam (
Pinus merkusii),
puspa (
Schima wallichii), dan
ki sireum (
Eugenia clavimyrtus). Tidak selalu jauh berada di dalam hutan, ada pula sarang-sarang yang ditemukan hanya sejarak 200-300 m dari tempat rekreasi.
[3]
Di habitatnya, elang Jawa menyebar jarang-jarang. Sehingga meskipun luas daerah agihannya, total jumlahnya hanya sekitar 137-188 pasang burung, atau perkiraan jumlah individu elang ini berkisar antara 600-1.000 ekor.
[5] Populasi yang kecil ini menghadapi ancaman besar terhadap kelestariannya, yang disebabkan oleh kehilangan habitat dan eksploitasi jenis.
Pembalakan liar dan
konversi hutan menjadi lahan pertanian telah menyusutkan tutupan hutan primer di Jawa.
[6] Dalam pada itu, elang ini juga terus diburu orang untuk diperjual belikan di pasar gelap sebagai satwa peliharaan. Karena kelangkaannya, memelihara burung ini seolah menjadi kebanggaan tersendiri, dan pada gilirannya menjadikan harga burung ini melambung tinggi.
Mempertimbangkan kecilnya populasi, wilayah agihannya yang terbatas dan tekanan tinggi yang dihadapi itu, organisasi konservasi dunia
IUCN memasukkan elang Jawa ke dalam status EN (
Endangered, terancam kepunahan).
[7] Demikian pula, Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai hewan yang dilindungi oleh undang-undang.
[8]
Catatan taksonomis
Sesungguhnya keberadaan elang Jawa telah diketahui sejak sedini tahun 1820, tatkala
van Hasselt dan
Kuhl mengoleksi dua spesimen burung ini dari kawasan
Gunung Salak untuk Museum Leiden, Negeri
Belanda. Akan tetapi pada masa itu hingga akhir abad-19, spesimen-spesimen burung ini masih dianggap sebagai jenis
elang brontok.
Baru di tahun 1908, atas dasar spesimen koleksi yang dibuat oleh
Max Bartels dari Pasir Datar, Sukabumi pada tahun 1907, seorang pakar burung di Negeri
Jerman, O. Finsch, mengenalinya sebagai
takson yang baru. Ia mengiranya sebagai anak jenis dari
Spizaetus kelaarti, sejenis elang yang ada di
Sri Lanka. Sampai kemudian pada tahun 1924, Prof.
Stresemann memberi nama takson baru tersebut dengan epitet spesifik
bartelsi, untuk menghormati Max Bartels di atas, dan memasukkannya sebagai anak jenis elang gunung
Spizaetus nipalensis.
[3]
Demikianlah, burung ini kemudian dikenal dunia dengan nama ilmiah
Spizaetus nipalensis bartelsi, hingga akhirnya pada tahun 1953 D. Amadon mengusulkan untuk menaikkan peringkatnya dan mendudukkannya ke dalam jenis yang tersendiri,
Spizaetus bartelsi.
[9]